A.
Pengertian Control
Social
Menurut Peter L, Berger ( 1978 ),
yang dimaksud pengendalian social adalah berbagai cara yang digunakan
masyarakat untuk menerbitkan anggota yang membangkan.
Sementara itu menurut Roucek ( 1965 ), pengendalian social adalah suatu
proses baik yang direncanakn atau tidak
untuk mengajak individu agar dapat menyesuaikan diri dengan kebiasaan dan nilai
kelompok tempat mereka tinggal.
Menurut Sarjoeno Soekanto ( 1981 ), yang dimaksud pengendalian social
adalah suatu prosesbaik yang direncanakan atau tidak direncanakan, yang
bertujuan untuk mengajak, membimbing atau bahkan memaksa warga masyarakat agar
mematuhi nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku.
Pengendalian social atau
pengawasan social lebih populer disebut social control dalam arti sempit
dimaksudkan sebagai pengawasan masyarakat kepada jalannya pemerintahan khusus
nya kepada para aparatnya.
Agar anggota masyarakat menaatinorma yang berlaku, diciptakan system
pengendalian atau pengawasan norma ( social Control ), yakni system yang dijalankan masyarakat agar perilaku
anggota masyarakat selalu disesuaikan dengan nilai-nilai dan norma yang berlaku
[1]
Sebenarnya arti dari social control itu bukan hanya yang telah disebutkan
itu, tetapi meliputi semua proses, baik yang direncanakan atau yang tidak, yang
sifatnya mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi
kaidah-kaidah dan nilai-nilai social yang berlaku.[2]
Lahirnya pengendalian social ( control social )disebabkan oleh adanya
perbedaan kepentingan diantara anggota masyarakat. Meskipun demikian,
masyarakat tetap menginginkan suatau kehidupan yang tertib, aman, teratur dan
tentram.
Tujuan yang ingin dicapai tentunya adalah supaya setiap individu dalam
menjalankan kepentingannya dapat berjalan dengan sempurna. Adanya control
social tentunya diharapkan dapat berfungsi sebagai pedoman sekaligus sebagai
pengawas berbagai perilaku anggotanya didalam kehidupan masyarakat.
B.
Sifat-sifat
Pengendalian Sosial
a)
Berdasarkan waktu pelaksanaan dibagi menjadi beberapa
jenis sebagai berikut :
Ø
Pengendalian social yang
bersifat preventif ( pencegahan )
Merupakan suatu
usaha pencegahan terhadap berbagai penyimpangan nilai dan norma social. Usaha
preventif dilakukan sebelum sebuah peristiwa terjadi. Kegiatan ini dimaksudkan
sebagai upaya antisipasi terhadap berbagai kemungkinan penyimpangan social
sedini mungkin. Contoh usaha preventif adalah melalui sosialisasi, pendidikan
formal dan informal, dakwah, dsb.
Ø
Pengendalian social yang
bersifat represif ( memperbaiki )
Bertujuan untuk
mengembalikan keserasian yang terjadi akibat adanya pelanggaran norma atau
perilaku menyimpang pengendalian represif dilakukan setelah sebuah penyimpangan
social terjadi. Untuk mengembalikan keadaan sebagaiman mestinya, maka perlu
melakukan sebuah usaha pemulihan atau rehabilitasi. Contoh usaha represif
yaitu: penjatuhan pidana ( hukuman ) kepada para pelanggar, atau menyimpang
dari kaidah social yang berlaku.
Ø
Gabungan antara Preventive
dan Represif
Usaha yang
bertujuan untuk mencegah terjadinya penyimpangan ( prefentif ) sekaligus
mengembalikan penyimpangan yang tidak sesuai dengan norma-norma social.
Penanaman
norma-norma yang ada secara berulang-ulang dengan harapan bahwa hal tersebut
dapat masuk kedalam kesadaran seseorang sehingga ia dapat mengubah sifatnya.
C. Cara Pengendalian Norma Sosial [3]dilakukan
dengan :
Ø
Mempertebal keyakinan
anggota masyarakat akan kebaikan norma dan nilai yang berlaku
Ø
Memberikan penghargaan
kepada setiap annggota masyarakat yang taat kepada norma yang berlaku.
Ø
Mengembangkan rasa malu (
sirik ) dalam diri atau jiwa anggota masyarakat apabila menyimpang dari norma
yang berlaku.
Ø
Menimbulkan rasa takut, dan
Ø
Menciptakan system hukum,
yaitu tata tertib dengan sanksi ( pidana ) yang tegas kepada para pelanggarnya.
D.
Sanksi: Sarana Kontrol Sosial
Yang Utama
Adapun yang dimaksud dengan sanksi didalam pembicaraan-pembicaraan disini ialah sesuatu
bentuk penderitaan yang secara sengaja dibebankan oleh masyarakat kepada
seseorang warga masyarakat yang terbukti melanggar dan menyimpang terhadap norma
tersebut.
a)
Sanksi yang bersifat fisik
Adalah sanksi
yang mengakibatkan penderitaan fisik pada mereka yang dibebani sanksi tersebut,
misalnya didera, dipenjara, diikat, dijemur di panas matahari, tidak diberi
makan dan sebagainya.
b)
Sanksi yang bersifat psikologik
Adalah beban
penderitaan yang dikenakan pada si pelanggar norma itu bersifat kejiwaan, dan
mengenai perasaan, misalnya hukuman dipermalukan didepan umum, diumumkannya
segala kejahatan yang telah pernah diperbuat, dicopot tanda kepangkatan didalam
suatu upacara, dan lain sebagainya.
c)
Sanksi yang bersifat ekonomik.
Adalah beban penderitaan yang dikenakan kepada pelanggar norma adalah
berupa pengurangan kekayaan atau potensi ekonomiknya, misalnya pengenaan denda,
penyitaan harta kekayaan, dipaksa membayar ganti rugi, dan sebagainya.
Control social sesungguhnya juga dilaksanakan dengan menggunakan
incentive-incentive positif.incentive adalah dorongan positif yang akan
membantu individu-individu untuk segera meninggalkan pekerti-pekertinya yang
salah. Sebagaimana halnya dengan sanksi-sanksi,pun incentive itu bisa dibedakan
menjadi tiga jenis, yaitu :
- Incentive yang bersifat fisik
Kebanyakan
berwujud usapan dikepala, pelukan, ciuman, makan-makan. Jabatan tangan.
- Incentive yang bersifat psikologik
Kebanyakan
incentive fisik lebih tepat dirasakan sebagai incentive psikolog.
- Incentive yang bersifat ekonomik
Kebanyakan
berwujud hadiah-hadiah barang atau kea rah penghasilan uang yang lebih banyak.
E.
Kategori Social Kontrol
atau Pengawasan Sosial
Menurut
tipologinya control social dapat dikategorikan menjadi :
1.
Formal Social Control dan Informal
Social Control
Pengendalian
social secara formal dilakukan oleh lembaga-lembaga resmi yang ditugasi oleh
masyarakat untuk itu, misalnya lembaga pemerintahan, lembaga ketertiban dan
keamanan, semisal pemerintahan desa, kepolisian, kejaksaan, pengadilan (
kehakiman ) dan para penegak hokum yang lain.
Sedangkan secara
informal pengawasan social dilakukan oleh siapa saja dari anggota masyarakat
demi tegaknya ketertiban dan ketentraman
serta kedamaian masyarakat sesuai dengan norma yang berlaku atau yang
diinginkan.
2.
Primary Group Control dan
Secondary Group Control
Pengawasan
social dari kelompok primer, misalnya orang tua kepada anak-anak mereka, atau
oleh seorang individu kepada kelompok, semisal dosen kepada mahasiswanya
disuatu perguruan tinggi.
Pengawasan
social oleh kelompok sekunder, dapat dilakukan misalnya kelompok tertentu mengawasi
kelompok lain, atau sebaliknya, juga pengawasan suatu kelompok kepada individu,
dalm kehidupan sehari-hari.
3.
Regulative Social Control dan
Suggestive Social control
Pengendalian
social yang dilakukan oleh penguasa atau melalui kekuatan dan kekuasaan, dengan
menggunakan aturan, atau norma hukum ( regulative ) jika social control yang
lain telah gagal melaksanakan fungsinya dalam mengarahkan tingkah laku anggota
masyarakat atau kelompok untuk menyesuaikan diri dengan nilai dan norma social
yang berlaku.
Proses
pengendalian dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan:
- Persuasive yaitu
Meyakinkan tanpa
kekerasan.
- Compulsion yaitu
Diciptakan
situasai sedemikian rupa hingga seseorang terpaksa mengubah sikapnya, yang
menghasilakn kepatuhan secara tidak langsung.
- Pervasion yaitu
Dengan cara
mengulang-ulang penyampaian norma dan nilai yang diharapkan, sehingga secara
tidak sadar akhirnya orang menaati norma yang berlaku.
- Coersion dan Coersive yaitu
Pengendalian
social dengan cara paksaan
F.
Bentuk-bentuk Control
Social
Bentuk control social atau cara-cara pemaksaan konformitas relative
beragam. Cara pengendalian masyarakat dapat dijalankan dengan cara
persuasive atau dengan cara koersif.
Cara persuasife terjadi apabila pengendalian social ditekankan pada usaha untuk
membimbing, sedangkan secara koersif tekanan diletakkan pada kekerasan atau
ancaman dengan mempergunakan atau mengandalkan kekuatan fisik.
Menurut Soekanto ( 1981 : 42 )
Cara mana yang lebih baik senantiasa tergantung pada situasi yang
dihadapi dan tujuan yang hendak dicapai, maupun jangka waktu yang dikehendaki.
Menurut Peter L. Berger, bahwa olok-olok dan pergunjingan adalah
alat control social yang kuat didalam
kelompok primer segala jenis.Disamping itu, mekanisme yang tak kalah efektif
untuk menegakkan tertib social didalm komunitas primer adalah moralitas, adapt
istiadat, dan tata sopan santun. Seseorang yang bernilai tidak sopan, biasanya
akan jarang atau bahkan tidak pernah diundang kedalam pertemuan warga desa.
Disisi lain, jika ada seseorang bertindak amoral, seperti berzinah, misalnya ia
bukan saja akan dikucilkan, tetapi tidak jarang juga akan diberi sanksi yang
betul-betul memalukan sehingga membuat orang lain yang ingin berbuat serupa
akan berpikir seribu kali sebelum benar-benar melanggarnya.
Cara terakhir menurut Peter L. Berger adalah dengan cara kekerasan fisik.
Cara kekerasan ini dianggap sah mana kala semua cara paksaan gagal.
G.
Aparat Penegak Kontrol
Sosial
Didalam
masyarakat yang makin kompleks dan modern, usaha penegakan kaidah social tidak
lagi bisa dilakukan hanya dengan mengandalkan kesadaran warga masyarakat atau
pada rasa sungkan warga masyarakat itu sendiri. Usaha penegakan kaidah social
didalm masyarakat yang semakin modern, tak pelak harus dilakukan dan dibantu
oleh kehadiran aparat petugas control social.
Didalam berbagai
masyarakat, beberapa aparat petugas control social yang lazim dikenal adalah
aparat kepolisian, pengadilan, sekolah,lembaga keagamaan,adat, tokoh masyarakat seperti kiai, pendeta, tokuh
yang dituakan dan sebagainya[4].
DAFTAR PUSTAKA
Dwi Narwoko,J
dan Suyanto,Bagong. Pengantar sosiologi
teks dan terapan.2006. Jakarta :
Kencana. Cet. II.
Imam Asyari, Sapari.
Sosiologi.2007.Cet. II.Sidoarjo: Muhammadiyah
University Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar